Alun-Alun Bandung dibangun seiring pembangunan pusat pemerintahan kabupaten yang baru di sekitar tahun 1810. Pemindahan ini didorong oleh surat dari Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels tanggal 25 Mei yang berisi perintah pemindahan Ibukota Kabupaten Bandung ke posisi yang dekat dengan Jalan raya Pos.
Surat ini kemudian direspon positif oleh Bupati R. A. Wiranatakusumah II yang juga sedang berikhtiar mencari lokasi pengganti ibukota. Setelah itu, terpilihlah lokasi yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Kota Bandung. Selain pendopo, dibangun pula sebuah pasar, Masjid Agung, dan Alun-Alun.
Alun-alun Bandung merupakan lapangan luas di depan pendopo. Tempat ini menjadi tempat beraktivitas bagi masyarakat Bandung. Mereka melakukan baik aktivitas sosial, keagamaan, hiburan, olahraga, sampai aktivitas politik di masa pergerakan. Di masa lalu, Alun-Alun merupakan simbol kekuasaan penguasa di hadapan rakyatnya.
Di masa pra kolonal, Alun-alun merupakan tempat yang menjadi batas antara wilayah sakral, yakni keraton atau pendopo dengan wilayah profan, yakni tempat biasa yang digunakan oleh masyarakat. Alun-alun menjadi tempat di mana kekuasaan raja terpancar ke seluruh negeri atau kabupaten. Di lapangan inilah pula, kekuasaan raja berdiri tegak di hadapan rakyatnya, terutama akan sangat terlihat manakala rakyat menghadap ke rajanya untuk menyampaikan keluhan. Selain itu, kedudukan raja (khususnya pada masa Islam) tidak hanya sebagai penguasa dunia, melainkan juga sebagai pemimpin tertinggi keagamaan. Penegasan itu disimbolisasikan dengan dipusatkannya kegiatan ritual keagamaan penting di alun-alun dan keberadaan masjid di sebelah barat alun-alun menjadi simbol kekuasaan raja atau budaya di bidang keagamaan (Santosa dalam Handinoto, 2015: 38).
Fungsi Alun-Alun kemudian bergeser menjadi lebih terbuka dan sangat mudah diakses siapapun. Masyarakat bisa berpartisipasi dalam kegiatan apapun yang dilangsungkan di sana.
Dalam perkembangannya, Alun-alun Bandung mengalami pergeseran baik secara simbolik maupun makna. Pada awal Abad XX, secara pragmatis, Alun-alun Bandung tidak menunjukkan fungsi sebagaimana mestinya sehingga lebih tepat kalau dinamakan sebagai lapangan terbuka untuk berbagai aktivitas warga. (Falah. dkk, 2019: 211)
Menurut Haryoto Kunto, Alun-Alun Bandung pernah menjadi tempat dikumpulkannya kerbau-kerbau yang merupakan zakat mal (zakat harta) dari masyarakat. Zakat kerbau ini disebabkan masyarakat enggan membawa uang tunai karena faktor keamanan selama perjalanan dari daerah-daerah pedalaman luar kota. Akibatnya, alun-alun selalu dipenuhi oleh kotoran kerbau menjelang Idul Fitri.
Di tahun 1916, Alun-Alun dipakai untuk kegiatan politik praktis. Saat itu, Alun-Alun menjadi salah satu tempat yang dipakai oleh Sarekat Islam untuk menyelenggarakan kongresnya. Di seberang timur alun-alun, beberapa bioskop pun dibangun untuk hiburan bagi masyarakat.
Di awal abad 20, Alun-alun Bandung pernah disulap menjadi lapangan sepakbola. Permainan olahraga baru ini, sangat menyedot perhatian masyarakat kota, yang haus akan hiburan. Bandoengsche Voetbal Club (BVC) menjadi klub pertama yang dibentuk di Alun-Alun Bandung di tahun 1900 (Berretty, 1934: 98). Berdirinya BVC disusul oleh dua klub legendaris Kota Bandung lainnya, yakni Spelen In De Open Lucht Is Gezond (SIDOLIG), dan Uitspanning Na Inspanning (UNI).
Baca Juga: Lapangan Sepakbola di Kerkplein Bandung
SIDOLIG diperkenalkan pada tahun 1902 oleh para murid sekolah Eerste Lagere School. Baru di tanggal 22 Februari 1903, klub ini mempunyai anggota kepengurusan, dengan Oscar Veer sebagai ketuanya (Berretty, 1934: 113). Sementara itu, UNI digagas di Babancong Alun-Alun Bandung di tahun 1903. Pembentukan klub UNI diresmikan di bangsal senam Kweekschool tanggal 28 Februari 1903 (Berretty, 1934: 98). UNI bahkan sempat membuat tribun penonton kecil di depan Masjid Agung setelah klub ini kembali berkandang di Alun-Alun di tahun 1920-an.
Sejak kemunculan klub-klub tersebut di Alun-Alun, klub-klub sepakbola dari semua kalangan masyarakat Bandung mulai bermunculan.
Sumber:
Berretty, W. 1934. 40 Jaar Voetbal in Nederlandsch-Indie 1894-1934. Soekabumi: Berretty.
Falah. dkk. 2019. Pergeseran Makna Filosofis Alun-Alun Kota Bandung Pada Abad XIX – Abad XXI. Jurnal Patanjala Vol. 11 No. 2 Juni 2019. Sumedang: Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
Handinoto. 2015. Perkembangan Kota di Jawa Abad XVII sampai Pertengahan Abad XX; Dipandang dari Sudut Bentuk dan Struktur Kotanya. Yogyakarta: Ombak.
Kunto, Haryoto. 2007. Ramadhan Di Priangan (tempo Doeloe). Bandung: Granesia
Sarekat Islam Congres (1e Nationaal Congres) 17 – 24- Juni te Bandoeng
Leave a Reply