Perang Dunia pertama mendorong Belanda untuk membuat instalasi radio nirkabel di Hindia Belanda. Perang membuat hubungan komunikasi antara kedua kawasan sangat terganggu. Salah satu ambisi Belanda adalah membuat jaringan telekomunikasi yang tidak bergantung pada keberadaan kabel-kabel telegraf yang rentan mendapat gangguan, terutama saat perang.
Van der Woude dalam artikel Het ’radio-huisje’ op de Meent menulis, saat perang dunia pertama pecah, hubungan Den Haag dan Batavia memburuk. Koneksi kedua kota melewati jaringan telegraf yang dikuasai oleh Inggris. Kiriman telegraf angar kedua kota kadang terlambat satu sampai beberapa hari, karena kiriman tersebut tidak menjadi prioritas bagi Inggris[1].
Untuk mewujudkan keinginannya, pemerintah Belanda melakukan kerjasama dengan perusahaan Telefunken sekitar tahun 1916. Kerjasama ini diwujudkan dalam bentuk percobaan pengiriman sinyal radio antara stasiun di Jerman dan Hindia Belanda. Dari percobaan tersebut, Telefunken berhasil mengirim sinyal dari stasiun radio di Nauen ke Stasiun Sabang.

Keberhasilan ini mendorong pemerintah Belanda untuk memasang mesin pemancar Telenfunken di negeri koloni. Tetapi, rencana ini tidak menarik perhatian Dr. de Groot yang juga sedang mempersiapkan lampu pemancar Poulsen.
Menurutnya, lampu pemancar yang dibawanya dari Amerika Serikat tersebut mempunyai spesifikasi yang ia butuhkan dibanding mesin pemancar dari Telefunken. Di masa perang, pemancar Poulsen dianggap lebih cocok karena mempunyai fleksibilitas untuk memanipulasi panjang gelombang dengan cepat. Tambahnya lagi, stasiun-stasiun militer di Eropa dan di Amerika, dilengkapi oleh pemancar jenis ini[2].
Lampu pemancar yang ditemukan oleh Valdemar Poulsen ini diinstall di stasiun radio sementara di Gunung Malabar pertengahan tahun 1917. Saat itu, stasiun Malabar masih berupa bangunan kayu yang sederhana.
Sementara itu, mesin pemancar dari Telefunken dipasang di kaki sebuah gunung di Cililin. Seperti Malabar, tempat yang juga terpencil ini dipilih karena mempunyai ngarai yang cocok untuk dijadikan antena radio. Seperti halnya di Malabar, antena radio pemancar di Cililin dibentangkan di gunung yang ada di belakang stasiun. Pemasangan mesin pemancar dari Telefunken tersebut selesai pada tanggal 1 Agustus 1918.
Cililin merupakan kawasan yang jauh dari keramaian. Stasiun radio ini berada sekitar 30 km dari pusat Kota Bandung. Klaas Dijkstra, seorang pegawai teknis di dinas telegrafi menuliskan pengalamannya saat berkunjung ke Cililin. Dijkstra berkendara dari Bandung ke Cililin melalui Cimindi. Dari Jalan Raya Pos, mobil berbelok sampai Curug Jompong sungai Ci Tarum di daerah Cipatik sekarang. Dari Cipatik, diperlukan waktu sekitar setengah jam untuk mencapai stasiun radio.
Baca Juga: Curug Jompong dan Pemandangan Terindah di Pulau Jawa

Menurut Dijkstra dalam bukunya Radio Malabar: Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945, suasana stasiun Cililin seperti halnya stasiun Cangkring berbeda dengan stasiun Malabar. Suasana pedesaan di kawasan ini sangat terasa.
Meski dekat pemukiman, stasiun Cililin pernah didatangi seekor harimau. Setelah peristiwa itu, para pegawai yang akan bekerja harus ditemani penduduk setempat untuk mencapai bangunan stasiun. Mereka membawa alat bunyi-bunyian untuk menakuti binatang buas. Di waktu lain, stasiun juga pernah dimasuki oleh monyet-monyet yang berasal dari gunung sekitar.
Untuk mengimbangi kehidupan Ciilin yang sepi, kepala stasiun diizinkan meninggalkan stasiun seminggu sekali. Mereka biasanya pergi ke Bandoeng untuk berbelanja menggunakan mobil dinas mereka.
Baca Juga: Stasiun Rancaekek dan Percakapan Pertama Dengan Belanda
Stasiun radio Cililin yang dikunjungi oleh Dijkstra masih berupa bangunan dengan bambu dan bilik. Stasiun ini baru mengalami renovasi menjadi bangunan permanen di tahun 1926.
Renovasi stasiun Cililin pada tahun 1926 dilakukan setelah pemerintah mengambil alih aset stasiun ini dari Telefunken. Pemerintah merasa perlu merenovasi stasiun yang dirasa sudah usang tersebut karena stasiun ini akan menjadi stasiun penyangga bagi stasiun Malabar. Stasiun Cililin juga akan dipakai untuk melayani pengiriman radio jarak menengah, seperti ke Indochina, Ambon, atau Kupang. Stasiun ini pula mengambil alih distribusi telegram kantor berita Hindia Belanda, Aneta. Saat renovasi, mesin pemancar lama dibongkar dan diganti dengan pemancar lampu untuk gelombang pendek[3].
Meskipun stasiun radio di Malabar dan Cililin sudah dibangun, radio penerima di Belanda baru ada tahun 1919. Stasiun radio penerima yang pertama dan sementara dibangun berada di kawasan Blaricummer Meent. Stasiun radio ini berupa rumah panggung yang berdiri 2 meter di atas permukaan tanah. Sebanyak 21 antena yang masing-masing setinggi 20 m didirikan di sekitar bangunan stasiun. Semua antena diarahkan ke Bandung.

Salah satu petugas yang menjadi penjaga stasiun adalah Roelof Visser. Di stasiun tersebut, Visser menjadi petugas sinyal yang menjadi petugas atas undangan dari ir. A. Dubois, direktur pabrik persinyalan Belanda. Visser yang sedang bertugas malam hari, menerima sinyal radio pertama dari Hindia Belanda. Sinyal acak tersebut berasal dari stasiun radio Cililin kemudian disusul oleh sinyal yang datang dari stasiun Malabar. Di bulan Juni, stasiun radio di Blaricummer Meent sudah dapat menerima sinyal untuk telegraf[4].
Baca Juga: Stasiun Radio Penerima Pertama di Belanda
Sinyal pertama dari Stasiun Cililin ini menjadi tonggak sejarah komunikasi baru antara kedua kawasan. Perkembangan waktu dan teknologi semakin mendekatkan Hindia Belanda dan Belanda. Orang-orang mulai saling mengirim kabar melalui telegraf yang menggunakan teknologi nirkabel. Pada perkembangannya, penemuan teknologi baru ini memungkinkan mereka untuk saling berkomunikasi melalui telepon kelak.
Referensi:
[1] J. van der Woude. 1991. Het ’radio-huisje’ op de Meent, dalam Tussen Vecht en Eem. Edisi 3 September 1991. Halaman 152.
[2] Klaas Dijkstra. 2005. Radio Malabar: Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945.
[3] Radio Station Tjililin. De locomotief. Edisi 1 Maret 1926
[4] J. van der Woude. 1991. Het ’radio-huisje’ op de Meent, dalam Tussen Vecht en Eem. Edisi 3 September 1991. Halaman 155.
Leave a Reply