Di jalur kereta api yang menghubungkan Garut dan Cikajang, perusahaan kereta api Staatsspoorwegen (SS) membangun sebuah stasiun kecil di Cisurupan. Kota kecil di kaki Gunung Papandayan ini terletak sekitar 22 km di selatan Garut dan 3 km di sebelah utara Cikajang.
Dilansir dari Harian Umum Kompas, stasiun kereta api Cisurupan mempunyai keunikan tersendiri dibanding stasiun lain di Jawa. Keunikan ini terletak di cukup jauhnya jarak antara peron stasiun dengan rel kereta api. Menurut Deden Suprayitno, Koordinator Wilayah Bandung Indonesian Railways Preservation Society (IRPS) saat wawancara kepada Kompas di tahun 2014, luasnya lahan stasiun ini dipakai untuk menumpuk hasil bumi sehingga mudah untuk dinaikkan ke atas gerbong[1].
Stasiun yang dibangun di atas 1215 meter di atas permukaan laut ini kondisinya kini sangat tidak terawat. Selain terbengkalai, bangunan stasiun sudah berdesakan dengan permukiman penduduk. Kita bisa mengenali stasiun dari papan nama yang juga sudah lapuk. Padahal, stasiun kecil ini pernah menyimpan kisah bagi perkeretaapian Indonesia. Cisurupan pernah menjadi kantor pusat kereta api Indonesia, saat Bandung tengah dibakar oleh para pejuang dalam peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) tahun 1946. Kejadian ini terjadi setelah Indonesia berhasil memerdekakan diri dari Jepang.
Kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 membuat perubahan kekuasaan di Indonesia berlangsung dengan cepat. Rakyat dan tentara Indonesia merebut aset-aset penting yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda dan Jepang. Dua hari setelah merdeka, para pemuda yang berkegiatan di bidang kereta api membentuk kelompok Dewan Pimpinan Bayangan yang siap mengambil alih perkeretaapian yang saat itu masih di bawah pengawasan Jepang[2].
Di tahun 1942, Jepang memanfaatkan aset-aset kereta api untuk kepentingan militer mereka setelah mengalahkan Belanda pada tanggal 8 Maret 1942. Kemenangan ini membuat Jepang otomatis menguasai semua aset perusahaan kereta api Belanda, baik pemerintah dan swasta. Satu perusahaan milik negara dan sebelas perusahaan milik swasta dilebur menjadi satu dengan nama Riyuku Sokyoku dan tetap dipusatkan di Kota Bandung[3].
Setelah Indonesia merdeka, para pejuang mulai mengambil alih aset-aset dari Jepang, termasuk kereta api. Keberhasilan dalam merebut Kantor Eksploitasi Barat di Jakarta menjadi pembuka jalan bagi perebutan kantor-kantor kereta api lainnya, termasuk di Kota Bandung. Di Jakarta, para pemuda kereta api mendapat dukungan dari pejuang lainnya, antara lain Kelompok Pemuda Menteng 31 dan mahasiswa. Di bawah pimpinan Sugandi, para pemuda berhasil merebut Kantor Eksploitas Barat di Stasiun Kota di Jakarta, pada tanggal 3 September 1945[4].
Keinginan untuk menguasai kantor pusat kereta api di Bandung didorong oleh keinginan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Kota Bandung yang menginginkan supaya semua aset di dalam kota, bisa direbut di tanggal 28 September 1945[5]. Keinginan ini merupakan wujud dari pemindahan kekuasaan yang tercantum di dalam teks proklamasi. Pemerintah Indonesia yang tidak ingin kekuasaannya kembali beralih ke pihak lain, berusaha mempertahankan kekuatannya. Ini mendorong pemerintah untuk mengakui bahwa seluruh pegawai sipil berkewarganegaraan Indonesia, berada di bawah republik pada tanggal 25 September 1945[6].
Pengakuan pemerintah ini membuat kelompok pemuda di setiap instansi bergerak untuk merebut instansi mereka dari tangan Jepang. Di Bandung, instansi pertama yang berhasil direbut adalah kantor pusat Pos, Telegraf, dan Telekomunikasi (PTT) pada tanggal 27 September pagi. Keberhasilan inilah yang membuat KNID Bandung mengeluarkan keputusan di hari yang sama, supaya seluruh instansi di Bandung harus dapat direbut di tanggal 28 September 1945, sebelum jam 11 siang[7].
Atas keputusan KNID, ribuan pegawai kereta api memenuhi halaman kantor pusat kereta api yang juga dikenal dengan nama Balai Besar. Mereka berkumpul di halaman kantor itu untuk merebut kantor pusat secara damai. Akhirnya, ditandai dengan penurunan Bendera Jepang dan penaikan Bendera Merah Putih yang diiringi lagu Indonesia Raya dan pekik “Merdeka!”. Pengambilalihan Balai Besar berlangsung dengan mulus. Untuk mengenang kejadian ini, tanggal 28 September dijadikan sebagai “Hari Kereta Api Nasional”[8].
Dua hari setelah pengambilalihan Balai Besar, dibentuk instansi baru untuk mengurusi perkeretaapian di Indonesia. Instansi ini diberi nama Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) yang diketuai oleh Mr. Suwahyo Sumodilogo dengan wakilnya Ir. Moh. Efendi Saleh. Tugas mereka yang pertama adalah melakukan konsolidasi dan menegaskan instansi untuk menjamin kelancaran operasi kereta api di Indonesia. Tugas ini menghasilkan maklumat Kementrian Perhubungan No. 1/KA, tanggal 23 Januari 1946[9]. Maklumat ini juga menetapkan Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, yang sedang mengungsi di Tasikmalaya, sebagai Kepala Pusat DKARI.
Djuanda ditugaskan pemerintah untuk memperbaiki perkeretaapian Indonesia yang kacau balau dan menyedihkan di Zaman Jepang. Kereta api merupakan satu-satunya harapan bagi rakyat di negara baru merdeka ini untuk berpergian jarak jauh. Namun, semangat merdeka yang kebablasan membuat para penumpang seenaknya saja memanfaatkan angkutan rel ini. Djuanda ditunjuk untuk memperbaiki keadaan tersebut[10].
Penunjukan Djuanda ini memang terjadi di masa peralihan yang lumayan tidak menentu. Saat itu, kondisi Kota Bandung sedang panas-panasnya. Insiden-insiden yang terjadi sampai pertengahan Maret 1946 mendorong Inggris untuk segera menguasai Kota Bandung secara penuh. Mereka telah menyiapkan satu operasi besar-besaran bernama “Operation Sam”, yang bertujuan untuk menyatukan Kota Bandung yang saat itu terbelah dua. Pihak Inggris akan melakukan operasi militer jika rakyat Bandung yang bersenjata dan anggota Badan Keamanan Rakyat tetap tinggal di dalam kota. Selain itu, mereka meminta supaya rakyat dan pemerintah sipil tetap ada di kota yang akan ada di bawah kendali mereka[11].
Ultimatum tentara sekutu supaya para pejuang Republik Indonesia untuk mengosongkan Bandung berimbas ke pemindahan Kantor Pusat Kereta Api. Keadaan ini membuat Moh. Effendi Saleh selaku Kepala Dinas Traksi dan Material memberi saran kepada Ir. Djuanda untuk memindahkan Balai Besar ke luar Kota Bandung. Saran tersebut disetujui dan diputuskan bahwa dinas-dinas yang berhubungan dengan kereta api, dipindahkan ke luar kota. Dinas Administrasi dan Dinas Lalu lintas dipindahkan ke Stasiun Cisurupan, Garut Selatan; Dinas Traksi diungsikan ke Stasiun Leles; dan Dinas Jalan dan Bangunan diungsikan ke Stasiun Purwokerto. Para pegawai kemudian mengeluarkan arsip-arsip kantor dan memasukan ke dalam gerbong-gerbong kereta yang telah disiapkan di rel sebelah selatan kompleks Balai Besar[12].
Setelah Kantor Pusat kereta api beroperasi di Cisurupan, DKARI mengaktifkan kereta api yang menghubungkan Yogyakarta dan Garut. Hal ini dilakukan untuk mempermudah koordinasi antara pemerintah Indonesia dan Kantor Pusat Kereta Api[13].
Penempatan kantor Pusat kereta api di Cisurupan tidak berlangsung lama. Pada akhir 1946, Kantor Pusat harus dipindahkan lagi menuju Kota Gombong dan Kebumen. Pemindahan ini berkaitan dengan memanasnya situasi saat itu. Konflik bersenjata antara para pejuang Republik Indonesia dengan pasukan Nederlandsch Indische Civil Administratie (NICA) semakin menjadi dan meluas. Dua kota di Jawa Tengah ini dipilih supaya kantor DKARI mendekati Ibu Kota Republik Indonesia di Yogyakarta. Selain itu pemindahan ini dimaksudkan supaya kantor besar tidak kembali beralih ke tangan Belanda[14].
Garut akhirnya berhasil dikuasai oleh tentara Belanda setelah mereka melancarkan Agresi Militer pertama, 21 Juli 1947. Para tentara Belanda berhasil menguasai kota setelah masuk melewati daerah Japati dan Cikajang. Di dalam kota, mereka menerjunkan pasukan payung di Lapang Jayaraga. Setelah beberapa titik di Kota Garut dibombardir, akhirnya Belanda bisa menguasai kota ini secara penuh pada tanggal 10 Agustus 1947[15].
Dalam konflik bersenjata di tahun 1947 tersebut, para pejuang dan rakyat Indonesia yang tidak mau tunduk terhadap Belanda membakar fasilitas-fasilitas penting di dalam Kota Garut, termasuk stasiun kereta api[16].
Stasiun yang kini berhimpitan dengan bangunan-bangunan milik penduduk setempat ini ditutup seiring dengan ditutupnya jalur antara Garut dan Cikajang di pada November 1982[17]. Selain stasiun, jalur kereta api di sekitar Cisurupan menyisakan jembatan besar yang sedikit melengkung. Jembatan ini berjarak sekitar 200 meter dari Stasiun Cisurupan ke arah Stasiun Cikajang. Jembatan yang dibuat sekitar tahun 1928 dengan tinggi 30 meter itu, kini telah dibeton dan digunakan oleh para penduduk setempat sebagai tempat melintas.
Gambar: bahnbuilder.de
Oleh Hevi Abu Fauzan, pecinta kereta api, penyuka Sejarah Kota Bandung, co-founder simamaung.com, aktif di media sosial Twitter dan Instagram dengan akun @pahepipa.
Baca Juga:
Kereta Api Cibatu-Garut, Reaktivasi yang Layak Dirayakan (Kereta Garut Bag. 1)
Transportasi Garut dan Priangan Tempo Dulu (Kereta Garut Bag. 2)
Dari Cicalengka, Perjuangan Melawan Ilusi (Kereta Garut Bag. 3)
Kemeriahan Pembukaan Jalur KA Cicalengka Garut (Kereta Garut Bag. 4)
Bintang Penghargaan Buat Pembuat Jalur Cicalengka-Garut (Kereta Garut Bag. 5)
Berziarah ke Mecca of Mallet (Kereta Garut Bag. 6)
Charlie Chaplin, dan Janji yang Tidak Pernah Ditepati (Kereta Garut Bag. 7)
Cikajang, Nasib Stasiun Tertinggi di Indonesia (Kereta Garut Bag. 9)
Referensi:
[1] Nawa Tunggal dan Try Harijono, “Stasiun KA Tertinggi di Indonesia”, Kompas (Jakarta, 16 April 2014), 12.
[2] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia (Bandung: CV. Angkasa, 1997), jilid 2, 41.
[3] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia (Bandung: Angkasa, 1997), jilid 1, 144.
[4] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian, jilid 2, 45-46.
[5] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia, jilid 2, 41.
[6] John R.W. Smail, Bandung Awal Revolusi 1945-1946 (Jakarta: Ka Bandung, 2011), 63.
[7] Smail, Bandung Awal Revolusi 1945-1946, 70.
[8] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia, jilid 2, 42.-
[9] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia, jilid 2, 43.
[10] Awaloedin Djamin (ed.), Ir. H. Djuanda Negarawan, Administrator,dan Teknokrat Utama (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2001), 74-75.
[11] Smail, Bandung Awal Revolusi 1945-1946, 178.
[12] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia, jilid 2, 77.
[13] Iman subarkah, Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992 (Bandung: Yayasan Pusat Kesejahteraan Karyawan Kereta Api, 1992), 71.
[14] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia, jilid 2, 89.
[15] Kunto Sofianto, Garoet Kota Intan (Jatinangor: Alqaprint, 2001), 102.
[16] Kunto Sofianto, Garoet Kota Intan, 103.
[17] Nawa Tunggal dan Try Harijono, “Stasiun KA Tertinggi di Indonesia”, Kompas (Jakarta, 16 April 2014), 12.
Leave a Reply