“Jalan dari Soreang (Kopo) sepanjang Curug Jompong ke kamp artileri kecil Batujajar adalah salah satu jalan terindah di Jawa.” – S. A. Reitsma & W. H. Hoogland.
Dalam sejarah geologi di Cekungan Bandung, Curug Jompong merupakan salah satu titik yang menjadi perhatian para ahli geologi. Di masa Belanda, orang-orang Belanda menjadikan curug (kata dalam Bahasa Sunda yang berarti air terjun) ini sebagai tempat wisata yang dikelilingi oleh bentang alam yang memanjakan pandangan.
Berada di Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung Barat, Curug Jompong berjarak sekitar 7 km dari Cimahi. Air terjun ini merupakan pertemuan antara aliran sungai Ci Tarum dengan batuan-batuan keras yang ada di sana. Pertemuan ini membuat aliran sungai Ci Tarum menjadi lambat dan sempat dituding sebagai penyebab banjir di kawasan bandung Selatan. Karena dinilai memperlambat laju air sungai, sebuah terowongan dibangun di samping air terjun. Terowongan air ini dibuat untuk mengalirkan air Ci Tarum lebih cepat, terutama di musim hujan saat debit air sungai sedang tinggi.
Air terjun ini sudah terkenal sejak jaman dulu. Di awal abd 19, pelukis Antoine Auguste Joseph Paijen menyertakan nama air terjun ini dalam peta yang dia buat tahun 1819. Selain peta, pelukis asal Belgia ini juga menggambar suasana sungai Ci tarum di sekitar Jompong.

Di masa setelahnya, air terjun ini menarik perhatian karena menjadi salah satu tujuan wisata di Bandung bagian barat. Dalam buku Gids van Bandoeng en Midden-Priangan, S. A. Reitsma dan W. H. Hoogland menulis artikel tentang Curug Jompong. Artikel ini juga membahas tentang bagaimana cara menuju air terjun dari Bandung. Tulisan tersebut menjadi semacam guide buat mereka yang belum pernah ke sana dan penasaran dengan keindahan alamnya. Keduanya mengakui, bahwa jalan menuju air terjun Jompong merupakan jalan dengan pemandangan terbaik di Jawa.
Selain keindahannya, curug ini mempunyai cerita sejarah geologis yang dahsyat. Mengutip dari M. A. C. Dam (2016), T. Bachtiar menulis bahwa di titik tersebut, Danau Bandung Purba bagian timur mulai menyusut 16.000 tahun yang lalu. Bachtiar menambahkan, Curug Jompong merupakan situs bumi, laboratorium, dan monumen bumi dalam rangkaian sejarah bumi Bandung[1].
Untuk bisa mencapai Curug Jompong dari Bandung, setidaknya ada tiga jalan yang disebut oleh Reitsma dan Hoogland dalam bukunya.
Jalan pertama adalah melalui Cimahi. Untuk mencapai Curug Jompong melalui Cimahi, kita terlebih mencapai stasiun Cimahi menggunakan kereta api dari Bandung. Dari kota garnisun ini, kita bisa berjalan kaki, atau ada gerobak yang tersedia untuk mengantar kita, menuju Leuwigajah dan Gunung Lagadar. Setelah melewati jembatan sungai Citarum di Leuwisapi, kita harus mengambil jalan ke arah kanan menuju curug.

Jalan kedua adalah melalui kawasan Cimindi. Dari arah bandung, kita harus mengambil jalan ke kiri sebelum melintasi rel kereta api. Setelah menyusuri jalan tersebut, kita harus berbelok kembali ke arah kiri menuju Gunung Lagadar, di jalan seperti yang disebut di atas.
Dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda, kita bisa mengambil jalan alternatif ketiga. Jalan ini melalui Pasar Andir menuju Desa Cigondewah. Dari Cigondewah, kita menuju Kawasan Gajah (Jalan Gajah Eretan sekarang) dengan menyeberangi jembatan di atas Ci Tarum yang terbuat dari bambu. Dari jembatan ini, Curug Jompong tinggal berjarak 1 jam perjalanan dengan berjalan kaki. Dari Gajah, kita bisa menyusuri jalan yang menghubungkan Soreang-Cimahi.
Pesona alam yang indah di perjalanan antara Gajah dan air terjun Jompong membuat Reitsma dan Hoogland terkesan. Keduanya menyebut, perjalanan yang melewati Gunung Lalakon dan Pancir tersebut merupakan jalan yang paling cantik sepulau Jawa[2].
Waktu yang tepat untuk mengunjungi Curug Jompong adalah di musim hujan. Saat itu, debit air Ci Tarum mengalami pengingkatan. Arus yang sangat deras menimbulkan suara gemuruh. Uap air yang dihasilkan dari air yang saling bertabrakan terkadang menghasilan pelangi ketika disorot oleh matahari.
Namun, kita harus berhati-hati saat melihat arus yang deras di curug ini, karena dapat membuat kepala berputar. Ini dialami oleh Klaas Dijkstra, seorang Belanda yang menuliskan pengalamannya saat berkunjung ke Curug Jompong.
Baca juga: Cililin, Tempat Terpencil dengan Sejarah Besar
“Air yang mengalir sangat besar dan berkecepatan tinggi, tepat di bawah kaki kita. Sesaat, kita merasa akan merasa pusing , seolah-olah tersedot dalam massa yang bergerak. Kita membutuhkan banyak usaha untuk tetap berdiri tegak,” tulis Dijkstra, dalam bukunya yang berjudul Radio Malabar: Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945.

Dijkstra merupakan seorang pegawai teknis di dinas telegrafi dan bekerja di bawah Cornelis de Groot di jaringan stasiun radio Malabar. Dijkstra mengunjungi Curug Jompong dalam rangka kunjungan ke Stasiun Radio Cililin. Dari Bandung, dia berkendara menuju Cililin melalui Cimindi, Leuwigajah, dan Leuwisapi.
Lagi-lagi, perjalanan ke Curug Jompong sangat memukau bagi orang-orang Belanda. Dalam bukunya tersebut, Dijkstra menyebut bahwa pemandangan alam yang dilaluinya menuju Curug Jompong merupakan salah satu bagian terindah yang dia temui selama dia tinggal di Priangan[3].
Referensi:
[1] T. Bachtiar dan Dewi Syafriani. 2004. Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi. Bandung: Dunia Pustaka Jaya. Halaman 162.
[2] S. A. Reitsma dan W. H. Hoogland. 1927. Gids van Bandoeng en Midden-Priangan. Bandung: N. V. Mij. Vorkink. Halaman 49.
[3] Klaas Dijkstra. 2005. Radio Malabar: Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945.
Leave a Reply