“Membangun jalur kereta api ke arah timur Cicalengka, adalah sebuah ilusi,” – T. J. Stieltjes[1].
Kota Cicalengka adalah kota yang berada di ujung timur Cekungan Bandung. Kota ini terletak di ketinggian 689 meter di atas permukaan laut. Dalam sejarah pembangunan kereta api di Priangan, Cicalengka merupakan kota yang menjadi ujung pembangunan jalur kereta api Priangan yang dibangun mulai dari Stasiun Bogor. Menurut surat kabar De Locomotief bertanggal 2 Maret 1903, Stasiun Cicalengka bersama Stasiun Cimahi ditetapkan menjadi stasiun kelas 3 di tahun 1904. Ini bersamaan pula dengan naiknya status Stopplaats Cikudapateuh menjadi halte. Di tahun 1954, Cicalengka ditetapkan sebagai stasiun kelas III A/B. Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan DDKA No. 20493/BB/54, tanggal 16 Maret 1954[2].
Ada beberapa kisah tentang para Pahlawan Indonesia dan kisah tentang Romusha di Cicalengka. Kota ini merupakan tempat lahir salah satu pahlawan perempuan nasional, Dewi Sartika. Pejuang pendidikan ini dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1884 atau 3 bulan setelah kereta api dibuka di sana. Pada usia 10 tahun, Dewi Sartika kembali harus tinggal tinggal di Cicalengka, tepatnya di kediaman pamannya, Raden Demang Suriakarta Adiningrat yang saat itu menjabat sebagai Patih Afdeling Cicalengka. Dewi Sartika dititipkan setelah ayahnya, Raden Rangga Somanagara dibuang ke Ternate karena mencoba memberontak terhadap keputusan pemerintah kolonial dalam peristiwa “Peristiwa Dinamit Bandung”.
Beberapa puluh tahun kemudian, Cicalengka menjadi tempat tinggal pemuda bernama Djuanda Kartawidjaja yang kelak menjadi kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) dan Menteri Perhubungan RI. Di Bandung, nama Djuanda diabadikan sebagai nama jalan dan nama untuk Pusat Pendidikan Kereta Api di kawasan Cikudapateuh. Ayahnya, Raden Kartawidjaja merupakan seorang guru. Keluarga Djuanda pindah ke Cicalengka pada tahun 1923, setelah ayahnya dipindah tugaskan dari Kota Kuningan[3].
Sekitar tahun 1924, Djuanda diterima untuk bersekolah di HBS Bandung. Di tahun-tahun pertama sekolah, Djuanda menjadi seorang Treinjongen (Pemuda Kereta Api) karena harus menggunakan kereta api saat berangkat ke sekolah dan pulang ke rumah[4].
Setelah lulus dari Technische Hoogeschool (THS) di Bandung, Djuanda sempat berkelana ke Batavia sebagai pengajar dan aktif di Paguyuban Pasundan. Di kota ini pula, Djuanda memulai karir sebagai pegawai negeri sipil dan bekerja di Jawatan Pengairan Provinsi Jawa Barat. Karena kantornya kemudian dipindahkan dan menempati Gedung Sate, Djuanda pun kembali ke Kota Bandung.
Di masa peralihan dari Zaman Belanda, Jepang, dan revolusi, Djuanda kerap harus berpindah tempat. Di masa revolusi, Djuanda pun harus mengungsi dari Bandung karena ultimatum dari pihak sekutu. Di masa pengungsian ini, Djuanda menerima mandat untuk menjadi kepala DKARI dan harus kembali ke Bandung.
Di masa pergerakan, Stasiun Cicalengka menjadi tempat berhentinya kereta api yang membawa Sukarno, Maskun Sumadireja, dan Gatot Mangkoepradja. Ketiganya ditangkap pada tanggal 30 Desember 1929 karena aktifitas politik mereka di Solo dan Yogyakarta. Mereka dikirim kembali ke Bandung menggunakan kereta api dari Yogyakarta. Setelah diturunkan di Cicalengka, Perjalanan Sukarno, Maskun, dan Gatot dilanjutkan menggunakan mobil, menuju Penjara Banceuy [5].
Di Zaman Jepang, dari Stasiun Cicalengka pernah akan dibangun sebuah jalur percabangan kereta api. Jalur percabangan yang dibuat di akhir Perang Pas-ifik ini rencananya dibuat dari Cicalengka ke Majalaya. Menurut Iman Subarkah yang menjadi pengawas pembangunan saat itu, jalur kedua kota ini dibangun dengan kualitas yang jauh dari memenuhi syarat teknis perkeretaapian[6].
Pembangunan jalur kereta api yang dilakukan oleh Jepang ini adalah salah satu cerita yang cukup aneh. Pasalnya, hampir semua jalur di sekitar Bandung, dihabisi oleh Jepang di awal mereka berkuasa di Hindia Belanda. Jalur-jalur yang dibongkar ini meliput jalur Dayeuhkolot – Majalaya sepanjang 18 km dan jalur Rancaekek – Citali sepanjang 12 km[7].
Salah satu saksi pembangunan jalur kereta ini adalah seorang Belanda bernama Pans Schomper. Pans merupakan anak dari L.C. Schompers pemilik Hotel Schomper yang sekarang menjadi Hotel New Naripan di Jalan Naripan Bandung. Ketika Hindia Belanda dikuasai Jepang, Pans Schomper dan banyak orang Eropa dikumpulkan di kamp-kamp tawanan perang. Setelah dipindahkan beberapa kali, Pans dimasukan ke kamp Batalyon 4 Cimahi dengan sekitar 10000 tawanan lainnya[8].
Menurut website Japanseburgerkampen.nl, sebanyak 2500 orang terdiri dari laki-laki dewasa dan anak-anak diangkut ke Cicalengka untuk mengerjakan pembangunan jalan kereta api antara Cicalengka dan Majalaya. Di sana, telah tersedia 2 kamp yang dipersiapkan sebagai tempat menginap bagi para tahanan. Sebanyak 2200 tahanan dari Kamp Batalion 4 dan 9 Cimahi dan Kamp Baros 5 diangkut pada pagi hari tanggal 15 Juli 1945 dan 1 Agustus 1945 untuk menempati Kamp Utara. Sedangkan Kamp Selatan yang bertempat di Majalaya disediakan bagi 300 tahanan yang berasal dari Kamp Batallion 15 Bandung[9].
Menjelang penugasan di Cicalengka, para lelaki dewasa berusia 16-35 tahun dimobilisasi untuk melakukan pembangunan kereta api di tempat yang masih dirahasiakan. Pengerahan ini dicurigai oleh Pans bukan sebagai kerja paksa biasa, tetapi sebagai cara orang Jepang untuk mengurangi populasi orang Eropa di dalam kamp[10].
Di hari keberangkatan, Pans dan para tahanan lainnya dimasukan ke dalam gerbong tertutup di Stasiun Cimahi. Setelah 1 jam terperangkap di gerbong yang pengap, rombongan diturunkan di Stasiun Cicalengka dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selama 1 jam, sampai tempat yang disebut Pans dengan nama “Cimalaya”[11].
Para Romusha di sana disuruh untuk menggali tanah dan menyiapkan tanggul dengan batu-batu untuk bantalan rel[12]. Hanya saja, pekerjaan di sana tidak diselesaikan karena menurut Pans, mereka diselamatkan oleh sebuah bom atom[13].
Pengerjaan jalur kereta api Cicalengka Majalaya ini akhirnya harus berhenti setelah Jepang menyerah kepada Sekutu di Perang Pasifik. Para tawanan kemudian dikembalikan ke kamp mereka, 2 hari setelah Sukarno, Hatta, dan para pemuda lainnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta[14].
Stasiun Cicalengka dibuka bersamaan dengan selesainya tahap 5 pembangunan jalur kereta api Priangan di tanggal 10 September 1884. Setelah mencapai Cicalengka, perusahaan kereta api milik pemerintah, Staatsspoorwegen (SS), meneruskan perkerjaan ke arah timur menuju Garut.
Pembangunan jalur KA di Priangan dirintis oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang mendapat konsesi untuk membuka jalur Batavia (Jakarta) menuju Buitenzorg (Bogor). Jalur ini dibuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 1873[15]. Karena sangat ingin mengeksploitasi Priangan, SS melanjutkan jalur tersebut dengan membangun jalur kereta api lintas Priangan dari Bogor menuju Kasugihan.
Proyek pembangunan jalur KA Priangan ini dijalankan dalam beberapa tahapan, yaitu:
- Bogor – Cicurug, dibuka pada 5 Oktober 1881.
- Cicurug – Sukabumi, dibuka pada 21 Maret 1882.
- Sukabumi – Cianjur, dibuka pada 10 Mei 1883.
- Cianjur – Bandung, dibuka pada 17 Mei 1884.
- Bandung – Cicalengka, dibuka pada 10 September 1884.
- Cicalengka – Cibatu – Garut, dibuka pada 14 Agustus 1889.
- Cibatu – Tasikmalaya, dibuka pada 16 September 1893.
- Tasikmalaya – Kasugihan, dibuka pada 1 November 1894.
Di Kasugihan, Jalur KA Priangan bertemu dengan Jalur KA Yogyakarta – Cilacap yang telah dioperasikan oleh SS sejak 1887[16].
Pekerjaan pembangunan jalur KA di Priangan merupakan proyek infrastruktur terbesar pada akhir abad ke-19 dengan menggunakan teknologi tercanggih saat itu. Alam Priangan yang bergunung-gunung dengan lembah-lembah yang dalam merupakan tantangan yang harus ditaklukan. Para pekerja harus memasang banyak jembatan di lembah yang dalam, seperti contohnya penyeberangan Ci Tarum dan Ci Sokan. Di Lampegan, mereka harus membobol sebuah bukit untuk membuat terowongan. Pekerjaan super ini memang membutuhkan teknologi tinggi dan sumber daya manusia yang banyak[17].
Berada di tepi Cekungan Bandung, Cicalengka dihadang oleh dataran tinggi di sebelah timur kota. Ini menjadi cerita tersendiri saat pembangunan jalur kereta api antara Cicalengka dan Garut. Sebelum jalur ini dibangun, berhembus kabar bahwa pembangunan jalur kereta api dari Cicalengka menuju arah timur merupakan ilusi bagi pemerintah. Pendapat ini diutarakan oleh Insinyur berpengalaman, T. J. Stieltjes[18]. Dia berpendapat bahwa membangun jalur dari Cicalengka ke daerah Timur Priangan adalah satu kemustahilan. Pendapat ini pada akhirnya bisa dipatahkan karena akhirnya, jalur Cicalengka menuju Garut berhasil dibangun. Dalam tulisan di koran dengan judul , keberhasilan menaklukan dataran sebelah timur Cicalengka ini ditunjang oleh adanya teknologi dan tersedianya insinyur-insinyur yang lebih modern[19].
Setelah pembangunan jalur kereta api di Priangan yang menghubungkan Bogor dan Cicalengka selesai, SS sebagai perusahaan kereta api negara saat itu membangun jalur baru ke arah timur menuju Cilacap. Di tahun 1887, SS mengambil titik awal pembangunan ini dari Cicalengka menuju Garut sebagai kota tujuan pertama. Jalur kereta api dari Cicalengka, dibangun menembus Nagreg menuju Leles, Cibatu, sampai Garut yang selesai pada tahun 1889.
Dari Cicalengka inilah, Priangan mengalami perubahan dan kemajuan yang hasilnya bisa kita rasakan sekarang. Para insinyur SS berhasil mematahkan opini negatif T. J. Stieltjes yang mengatakan, bahwa pembangunan ke arah timur Cicalengka adalah satu ilusi.
Gambar: bahnbilder.de
Oleh Hevi Abu Fauzan, pecinta kereta api, penyuka Sejarah Kota Bandung, co-founder simamaung.com, aktif di media sosial Twitter dan Instagram dengan akun @pahepipa.
Baca Juga:
Kereta Api Cibatu-Garut, Reaktivasi yang Layak Dirayakan (Kereta Garut Bag. 1)
Transportasi Garut dan Priangan Tempo Dulu (Kereta Garut Bag. 2)
Kemeriahan Pembukaan Jalur KA Cicalengka Garut (Kereta Garut Bag. 4)
Bintang Penghargaan Buat Pembuat Jalur Cicalengka-Garut (Kereta Garut Bag. 5)
Berziarah ke Mecca of Mallet (Kereta Garut Bag. 6)
Charlie Chaplin, dan Janji yang Tidak Pernah Ditepati (Kereta Garut Bag. 7)
Cisurupan, Saat Balai Besar Kereta Api Mengungsi di Masa Revolusi (Kereta Garut Bag. 8)
Cikajang, Nasib Stasiun Tertinggi di Indonesia (Kereta Garut Bag. 9)
Referensi:
[1] De Spoorwegverbinding Tusschen Oost en West Java, Bataviaasch Nieuwsblad (Batavia, 23 Oktober 1894), 1.
[2] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia (Bandung: CV. Angkasa, 1997), jilid 2, 217.
[3] Awaloedin Djamin (ed.), Ir. H. Djuanda Negarawan, Administrator,dan Teknokrat Utama (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2001), halaman 12.
[4] Djamin (ed.), Ir. H. Djuanda Negarawan, Administrator,dan Teknokrat Utama, halaman 14.
[5] Her Suganda, Jejak Soekarno di Bandung 1921-1934 (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2015), halaman 82.
[6] Iman Subarkah, Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992 (Bandung: Yayasan Pusat Kesejahteraan Karyawan Kereta Api, 1992), halaman 53.
[7] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia, jilid 1, halaman 145.
[8] Pans Schompers, Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Pedagang Telur, terjemahan oleh Tris Slamet (Jakarta: PT Dorned, 1996), halaman 133.
[9] Tjitjalengka Spoorweg-kamp, https://www.japanseburgerkampen.nl/Tjitjalengka%20Spoorwegkamp.htm. (Diakses 30 September 2019).
[10] Schompers, Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Pedagang Telur, terjemahan oleh Tris Slamet, 193-196.
[11] Schompers, Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Pedagang Telur, terjemahan oleh Tris Slamet, 196.
[12] Schompers, Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Pedagang Telur, terjemahan oleh Tris Slamet, 198.
[13] Schompers, Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Pedagang Telur, terjemahan oleh Tris Slamet, 206.
[14] Tjitjalengka Spoorweg-kamp, https://www.japanseburgerkampen.nl/Tjitjalengka%20Spoorwegkamp.htm. (Diakses 30 September 2019).
[15] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia (Bandung: CV. Angkasa, 1997), jilid 1, 57.
[16] Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia, jilid 1, halaman 66.
[17] Agus Mulyana, Sejarah Kereta Api di Priangan (Yogyakarta: Ombak, 2017), halaman 3.
[18] Thomas Johannes Stieltjes adalah seorang insinyur teknik yang menjadi penasihat di depertemen jajahan. Setelah tiba di Hindia Belanda pada tahun 1860, Stieltjs bekerja di pemerintahan dengan tugas menangani permohonan-permohonan ijin pembangunan jalur kereta api yang diajukan swasta. Selain itu, Stieltjes memberi info tentang keadaan lalu lintas di Jawa, dan mengajukan pengembangan dan perbaikan lalu lintas. Lihat di N. Nanninga, Thomas Johannes Stieltjes, Link: http://rjb.x-cago.com/GARJB/1970/12/19701231/GARJB-19701231-0208/story.pdf, halaman 182 (diakses 15 Oktober 2019).
[19] De Spoorwegverbinding Tusschen Oost en West Java, Bataviaasch Nieuwsblad (Batavia, 23 Oktober 1894), 1.
Leave a Reply