Mungkin kita familiar dengan nama Pecinan sebagai pusat komunitas orang-orang Tionghoa di Bandung. Atau kita mengenal nama Alkateri dan Aljabri sebagai nama jalan dan gang yang merupakan peninggalan komunitas Arab. Pernahkan kita mendengar komunitas orang Jepang di Bandung?
Orang Jepang mulai menyebar ke seluruh dunia pasca Restorasi Meiji, 1867. Anak-anak muda Jepang disekolahkan ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa untuk meningkatkan taraf kehidupan. Sementara itu, para penduduk miskin dikirim untuk bekerja. Selain untuk memecahkan masalah keuangan, mereka dikirim untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di Jepang. Para pekerja miskin ini dimirim ke Asia bagian utara dan ke selatan, termasuk Hindia Belanda[1].
Mengutip dari statistik dari Peter Post, Gusti Asnan menyebut ada seorang perempuan Jepang yang masuk ke Priangan tahun 1896[2].

Berbeda dengan masa sebelumnya, kalangan atas dan para pengusaha Jepang mulai memasuki Hindia belanda pada tahun 1920-an. Mereka membuka berbagai perusahaan seperti ekspor impor, perkebunan, perikanan, budidaya mutiara, dan jasa transportasi. Fenomena ini menurut Asnan melahirkan konsep ‘Toko Jepang’ yang muncul di Hindia Belanda. Pengalaman belanja yang menyenangkan dan tidak diskriminatif menarik perhatian pribumi untuk berbelanja di sana.
Keberadaan toko-toko ini menjadi simpul pengikat bagi orang-orang Jepang. Mereka kemudian mendirikan Asosiasi Masyarakat Jepang (Nihonjikai atau De Japanese Vereniging) tahun 1913 di Batavia yang sebagian besar anggotanya adalah pemilik atau pengelola toko[3].
Di Bandung, komunitas Jepang cukup aktif dan berbaur dengan masyarakat. Pada tahun 1929, mereka mendirikan sebuah sekolah dasar. Dalam tulisan berjudul ‘Life and Death of “Abdul Rachman 1906-1949: One Aspect of Japanese-indonesia Relationships’, Kenichi Goto menyebut deretan toko-toko Jepang yang terpusat di bagian barat laut Alun-Alun Bandung, di sepanjang Jalan raya Pos (Jalan Asia Afrika sekarang), sebagai Japantown[4].
Baca Juga: Penamaan Jalan Asia Afrika Bandung
Menurut Haryoto Kunto dalam ‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’, Alun-alun Bandung dikelilingi oleh tempat-tempat usaha orang Jepang. Di bagian barat Alun-alun tepatnya di seberang Kantor Pos Besar terdapat toko ‘Tokio’ dan ‘Nanko’. Di Alun-Alun bagia timur tedapat tukang cukur dengan brand ‘Kuata’. Sebuah perusahan bernama ’Satoh’ pernah menjadi perusahaan angkutan bis di dekat gedung Perusahaan Listrk Negara (PLN) sekarang[5].
Selain mendirikan usaha perdagangan dan angkutan, orang Jepang juga mendirikan usaha foto studio di Bandung[6].
Menurut Sjarif Amin, toko Jepang di Bandung biasanya menjual pakaian, sandal, mainan, dan permen dengan kualitas dibawah barang buatan Eropa. Barang dagangan yang terkenal adalah obat mulut dengan nama Djintan. Obat sebesar biji lada dengan warna hijau.
Dalam buku ‘Keur Kuring di Bandung’, Amin menceritakan toko Jepang yang terkenal yakni ‘Ogawa’. Toko ini menjadi buah bibir karena posisinya strategis dan nyaman sebagai tempat bertemu. Posisi toko yang berada di bagian barat laut Alun-Alun, seberang Kantor Pos, sering dimanfaatkan orang-orang sebagai tempat janjian untuk bertemu. “Tempat biasa”, begitu kata orang-orang yang sedang membuat janji untuk bertemu. Selain Toko Ogawa, adapula toko serba ada bernama Tjiyoda. Toko ini terkenal karena harga barangnya yang terjangkau oleh masyarakat[7].
Baca Juga: Saat Pasukan Jepang Memasuki Bandung, 1942
Gelombang kedatangan orang-orang terpelajar dan pengusaha Jepang akhirnya menjadi bom waktu bagi pemerintah Hindia Belanda. Beberapa dari mereka terbukti tercatat sebagai mata-mata Jepang untuk menguasai kawasan yang dikenal kaya dengan sumber daya alam ini. Keberadaan orang Jepang kemudian memudahkan militer mereka untuk memasuki dan menguasai Hindia Belanda pada tahun 1942.
Gambar: Pertokoan Jepang di Jalan Raya Pos Bandung, tahun 1930-1939. Sumber: https://collectie.wereldculturen.nl/
[1] Asnan, Gusti. 2017. Nanshin-ron, dan keberadaan, serta aktivitas orang Jepang di Indonesia sebelum 1942. Makalah. Dibawakan untuk Seminar Jepang dan Indonesia dalam Perspektif Humaniora”, Diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas AndalasPadang, 7 November 2017. Halaman 6.
[2] Asnan. 2017. Halaman 9.
[3] Asnan. 2017. Halaman 11.
[4] Goto, Kenichi. Life and Death of “Abdul Rachman (1906-1949: One Aspect of Japanese-indonesia Relationships. Essay. Halaman 62.
[5] Kunto, Haryoto. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT. Granesia. Halaman 470-474.
[6] Goto. Halaman 62.
[7] Sjarif Amin. 1983. Keur Kuring di Bandung. Bandung: PT. Pelita Masa. Halaman 100-101.
Leave a Reply