Kereta Api Cibatu-Garut, Reaktivasi yang Layak Dirayakan

Kereta Api Cibatu-Garut, Reaktivasi yang Layak Dirayakan (Kereta Garut Bag. 1)

Kereta Api Cibatu-Garut, Reaktivasi yang Layak Dirayakan (Kereta Garut Bag. 1)

“Saya ingin mengembalikan budaya naik kereta. Saya ingin Jawa Barat seperti Eropa, masyarakat ke mana-mana bisa naik kereta karena nyaman dan terintegrasi,” – Ridwan Kamil, Gubernur Provinsi Jawa Barat[1].

Jalur kereta api antara Cibatu dan Garut merupakan salah satu jalur yang diaktifkan kembali oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Hal ini menjadi semacam titik awal bagi pengaktifan kembali jalur-jalur lama yang sempat dibiarkan mati di kawasan Priangan[2]. Ada beberapa jalur kereta api yang menunggu untuk diaktifkan kembali. Pengaktifan ini tidak hanya akan membangkitkan memori lama akan keberadaan jalur kereta api dan pengaruhnya terhadap wilayah yang dilalui. Tapi yang lebih penting, menjadi harapan bagi terciptanya mobilitas penduduk dan barang yang lebih baik di masa depan.

Priangan, negeri para dewa. Kawasan ini pada awalnya merupakan kawasan sepi, dengan sedikit manusia yang terpisah dari hingar bingar dunia luar. Mereka bekerja sebagai peladang yang selalu berpindah dari satu ladang ke ladang lainnya. Keadaan ini berubah setelah pihak-pihak luar ikut campur merusuhi yang membuat daerah ini perlahan menjadi pusat ekonomi baru bagi kaum kolonial. Di sana, tanaman konsumsi yang laku di pasaran dunia mulai ditanam. Dari perkebunan pemerintah sampai perkebunan swasta yang dibangun dan dihampar di bukit-bukit pedalaman. Para penduduk Priangan pun dipaksa untuk diam, tak bisa lagi bebas berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Sampai akhir abad 19, transportasi menjadi masalah terbesar bagi daerah yang kaya dengan hasil alamnya itu. Kondisi jalan yang jelek dan belum tersedianya sarana transportasi yang memadai, membuat pengangkutan hasil perkebunan dalam skala besar, sulit dilakukan[3]. Orang-orang kulit putih pun kemudian sadar dengan keadaan ini dan memutuskan untuk membangun jalur kereta api di Priangan, akhir abad 19 .

Ada banyak keajaiban yang dibutuhkan ketika pemerintah Hindia Belanda akan membangun jaringan kereta api ke Priangan. Keuntungan besar memang menunggu jika jalur kereta api ini berhasil diwujudkan. Tapi sebelumnya, mereka harus menaklukan tantangan alam yang ada. Tantangan yang membuat beberapa orang pesimis, jika kereta api bisa dibangun di tanah yang bergunung dan memiliki banyak sungai itu.

Jembatan-jembatan kereta api menyusuri lereng Gunung Mandalawangi, di Kadungora, Kab. Garut. Gambar: NMVW Collectie

Bentang alam Priangan dengan gunung, lembah, dan sungainya memang menjadi tantangan tersendiri bagi pihak kolonial. Dalam bukunya berjudul “Sejarah Kereta Api Priangan”, sejarawan Agus Mulyana menulis bahwa kesulitan yang disebabkan oleh kondisi geografis daerah Priangan berdampak pada teknologi dan tenaga kerja yang digunakan. Teknologi yang digunakan sudah barang tentu merupakan teknologi yang tinggi di jamannya[4]. Teknologi ini dipakai untuk membuat jalur di kaki gunung, jembatan-jembatan yang melewati lembah, dan terowongan-terowongan yang menembus bukit di beberapa tempat.

Masuknya kereta api membuat perubahan pada jenis alat transportasi yang digunakan di Priangan. Sebelumnya, manusia dan hasil perkebunan diangkut memakai alat transportasi tradisional yang menggunakan tenaga kuda, kerbau, atau manusia itu sendiri. Transportasi tradisional tersebut membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang tidak sedikit. Sejak kereta api masuk, Priangan perlahan menjadi daerah terbuka dan beberapa kota berkembang menjadi lebih besar. Bandung misalnya, kota ini pada awalnya mempunyai julukan Een kleine berg dessa (sebuah desa mungil di tengah pergunungan). Setelah dilalui oleh jaringan kereta api, Bandung menjadi kota yang penting di Hindia Belanda.

Begitu pula dengan Garut yang sejak dulu keberadaannya sangat penting dan terkenal[5]. Kesuburan tanah dan pemandangan alam yang indah mampu menyihir setiap pendatang untuk tinggal atau untuk sekedar bepergian. Sejak bernama Limbangan, Kabupaten Garut terkenal dengan tanaman kopi yang ditanam di lereng gunung dan lembah-lembah. Antrian gerobak penuh kopi yang dikirim melalui pelabuhan sungai di Karang Sambung adalah pemandangan sehari-hari. Selain kaya akan hasil tanahnya yang subur, Garut menyimpan potensi lain yang belum tergali berupa pemandangan alam yang luar biasa.

Untuk itulah, perusahaan permerintah Staatsspoorwegen (SS) membangun jaringan kereta api ke kota Garut. Di tahun 1886, Belanda menetapkan kota yang tersembunyi di balik pergunungan itu sebagai titik penghubung antara jalur Bandung dan Cilacap. Jalur dengan panjang 51 km ini akhirnya bisa diselesaikan dengan susah payah di tahun 1889. Salah satu kesulitan pembangunan jalur ini adalah melewati Kawasan Nagreg. Di sini, para pekerja harus bersusah payah menghancurkan batu-batu keras, sebelum jalur kereta bisa mencapai daerah landai bernama Leles. Di kawasan tinggi paling timur Bandung ini, SS membangun satu stasiun yang kini menyandang sebagai stasiun aktif tertinggi di Indonesia.

Pembangunan jalur ini membantu penduduk Garut dan para pengusaha perkebunan untuk menyebarkan hasil kebun dengan lebih cepat. Selain itu, keberadaan jalur ini membantu para pendatang dan wisatawan untuk menikmati Garut. Dengan keindahannya, Garut memang terkenal dengan julukan Switzerland van Java dan menarik beberapa orang-orang terkenal dunia untuk singgah di sana.

CC50 di Cisurupan, Kab. Garut. Sumber: bahnbilder.de.

Di masa kemerdekaan, Garut pernah menyelamatkan perusahaan kereta api negara. Ini terjadi saat Kota Bandung harus dikosongkan dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Di usia Republik Indonesia yang belum genap setahun itu, kantor pusat kereta api Indonesia harus diungsikan dari Bandung ke Cisurupan, sebuah kota kecil yang berjarak beberapa puluh kilometer di sebelah selatan Kota Garut.

Kisah perang pasca kemerdekaan ini juga menyisakan satu duka bagi perkeretaapian di Garut. Rakyat dan para pejuang yang diusir oleh tentara Belanda untuk meninggalkan Kota Garut pada tahun 1947, melakukan pembakaran dan penghancuran di beberapa tempat-tempat penting, termasuk Stasiun Garut[6].

Kereta api Cibatu Garut ditutup oleh Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) di usianya yang hampir menginjak 100 tahun, tepatnya di bulan Februari 1983. Ada banyak pendapat seputar ditutupnya jalur Cibatu-Garut-Cikajang ini. Yang jelas, masyarakat Garut terus menunggu jalur dari Cibatu menuju Garut dan Cikajang diaktifkan kembali oleh pemerintah. Dalam tulisan bertarikh 1985, Keresahan masyarakat yang sedang menanti reaktivasi jalur ini berhasil ditangkap oleh Aan Merdeka Permana dan dituangkan dalam sebuah artikel di Harian Umum Pikiran Rakyat[7].

Bagi masyarakat Garut, kereta api adalah sarana transportasi yang membantu mobilitas, bisnis, dan juga menjadi sarana hiburan. Sebelum ditutup, para pegawai dan pelajar terbiasa berdesakan di dalam gerbong saat mereka menuju tempat kerja atau sekolah. Para pengusaha pun merasakan dampak penutupan tersebut. Mereka yang biasa membawa barang dengan kereta api terutama dari Bandung, harus membayar ongkos lebih saat kereta api hanya sampai Cibatu. Mereka harus menambah pengeluaran untuk melanjutkan sisa perjalanan dari Cibatu menuju Garut. Bagi anak-anak, kenangan melihat kereta api saat melintas Sungai Ci Manuk di tengah kota merupakan kenangan yang mendapat tempat tersendiri dalam ingatan.

Pergantian jaman dan perubahan kehidupan manusia membuat jalur kereta api ini mulai dilirik kembali. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan PT KAI pun segera berkolaborasi mengaktifkan kembali jalur kereta api Cibatu-Garut di tahun 2020.

Dan tidak ada yang pantas untuk merayakan pembukaan kembali jalur yang telah tertidur lama, kecuali membuat sebuah tulisan yang sederhana ini.

Oleh Hevi Abu Fauzan, pecinta kereta api, penyuka Sejarah Kota Bandung, co-founder simamaung.com, aktif di media sosial Twitter dan Instagram dengan akun @pahepipa.

Baca Juga:
Transportasi Garut dan Priangan Tempo Dulu (Kereta Garut Bag. 2)

Dari Cicalengka, Perjuangan Melawan Ilusi (Kereta Garut Bag. 3)

Kemeriahan Pembukaan Jalur KA Cicalengka Garut (Kereta Garut Bag. 4)

Bintang Penghargaan Buat Pembuat Jalur Cicalengka-Garut (Kereta Garut Bag. 5)

Berziarah ke Mecca of Mallet (Kereta Garut Bag. 6)

Charlie Chaplin, dan Janji yang Tidak Pernah Ditepati (Kereta Garut Bag. 7)

Cisurupan, Saat Balai Besar Kereta Api Mengungsi di Masa Revolusi (Kereta Garut Bag. 8)

Cikajang, Nasib Stasiun Tertinggi di Indonesia (Kereta Garut Bag. 9)

Referensi:
[1]     Ridwan Kamil dan PT KAI Bahas Reaktivasi Empat Jalur Lama di Jawa Barat, Pikiran Rakyat (Bandung, 12 September 2018), https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2018/09/12/ridwan-kamil-dan-pt-kai-bahas-reaktivasi-empat-jalur-lama-di-jawa-barat (diakses 3 November 2019).

[2]     Selain jalur Cibatu Garut, jalur mati yang akan dihidupkan kembali di Jawa Barat adalah jalur yang menuju Ciwidey dan Pangandaran. Menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dihidupkannya kembali jalur-jalur ini merupakan upaya untuk mendukung pariwisata di daerah-daerah tersebut sebagai destiniasi wisata unggulan di Jawa Barat. Lihat Guntur Sakti, Siaran Pers: Reaktivasi Jalur KA Dorong Kemajuan Pariwisata Garut (Jakarta, 28 April 2019), http://www.kemenpar.go.id/post/siaran-pers-reaktivasi-jalur-ka-dorong-kemajuan-pariwisata-garut, (diakses 3 November 2019)

[3]     A. Sobana Hardjasaputra, “Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906”, Disertasi (Depok: UI, 2002), 205. t.d.

[4]     Agus Mulyana, Sejarah Kereta Api di Priangan (Yogyakarta: Ombak, 2017), 4.

[5]     S. A. Reitsma, Indische Spoorweg-Politiek, Deel VII (Batavia: Landsdrukkerij, 1920), 195.

[6] Kunto Sofianto, Garut City People In The Time Of Indonesia’s Independence, Departemen Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Link:  http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/garut-city-people-in-the-time-of-indonesias-independence/ (Diakses 4 Februari 2020.)

[7]     Aan Merdeka Permana, “Sejak Desember 1983 Tak Ada KA ke Garut Petugas Jadi Tukang Bersihkan Emplasemen”, Pikiran Rakyat, (Bandung, 9 April 1985), 1.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.