Letusan Gunung Krakatau menjadi peristiwa yang dahyat di Hindia Belanda, saat mendekati akhir abad 19. Gunung yang terletak di Selat Sunda ini meluluhlantakkan dirinya dan mengirimkan bencana tsunami ke bagian barat Pulau Jawa dan bagian selatan Pulau Sumatera. Bencana ini meninggalkan duka, terutama bagi para pribumi yang tinggal di pesisir dua pulau tersebut.

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Saat itu, perubahan kehidupan sedang berlangsung di Hindia Belanda. Kawasan yang ada dalam cengkeraman Kerajaan Belanda ini sedang berangsur dipermak menjadi lebih modern. Kapal-kapal uap menggantikan kapal-kapal layar yang bergantung pada arah angin. Di daratan, kereta api mulai dibangun di Pulau Jawa. Selain itu, hubungan dengan luar negeri pun mulai diperbaiki setelah kabel-kabel telegraf dipasang. Bahkan, berita meletusnya Gunung Krakatau dengan segera bisa diketahui masyarakat Eropa melalui jaringan telegraf ini.
Baca juga: Letusan Krakatau 1883, Saat Kegelapan Menyelimuti Bandung (Bag. 2)
Letusan Krakatau di tahun 1883 merupakan letusan yang dahsyat. Saking hebatnya, suara letusan ini sampai ke Kawasan Bandung. Dalam surat kepada keluarganya, Rudolph Eduard Kerkhoven (1848-1918) mengatakan bahwa suara Krakatau ini seperti ledakan sebuah meriam yang berada di bawah jendela rumah mereka di Gambung, dekat Ciwidey.
R. E. Kerkhoven membuka lahan teh di Gambung, di kaki Gunung Tilu. Pembukaan perkebunan ini mengikuti jejak leluhurnya yang membuka lahan perkebunan teh di beberapa tempat di Priangan. Perkebunan teh di Arjasari, dekat Banjaran misalnya, merupakan perkebunan teh pertama yang dibuka di Bandung. Perkebunan ini dimiliki oleh Rudolph Albertus Kerkhoven (1820-1890) yang merupakan ayah dari RE Kerkhoven. Di Gambung, Rudolph hidup bersama istri yang merupakan cicit dari Gubernur Jenderal Daendels, Jenny Elisabeth Henriette Roosegaarde Bisschop (1858-1907).
Peristiwa meletusnya Krakatau diceritakan dalam surat-surat RE Kerkhoven yang bisa kita baca di buku tulisan Hella S. Haase berjudul “Sang Juragan Teh”. Rudolph menulis suasana Gambung yang mencekam saat Krakatau meletus.
“Di luar gelap gulita, udara gerah dan tak berangin. Suara letusan kembali terdengar, kadang kuat, kadang pelan. Pagi berikutnya, kami mendapati sekelompok penduduk pribumi telah mengungsi ke kediaman juru tulis. Beberapa orang mengira Gunung Tilu bakal rubuh, sementara yang lainnya menduga bahwa yang rubuh adalah kediaman kami atau pabrik. Semua orang siap untuk melarikan diri. Ibu-ibu menggendong anak-anak mereka dalam selendang, sementara para bapak memikul barang-barang milik mereka yang paling berharga. Tapi tak seorangpun tahu ke mana harus melarikan diri.” (R. E. Kerkhoven dalam buku Sang Juragan Teh, halaman 292).
Letusan besar ini menurut Rudolph diawali oleh letusan-letusan di Bulan Mei sebelumnya. Rudolph menyangka, letusan di bulan Mei tersebut berasal dari dinamit yang dipasang untuk menghancurkan batu-batu dalam pengerjaan proyek kereta api yang menghubungkan Bogor dan Cicalengka. Jalur yang dibangun di antara tahun 1878-1884 ini menjadi perhatian Rudolph, karena adiknya, Julius terlibat dalam pembangunan tersebut. Ir. Julius Albertus Kerkhoven (1852-1918) saat itu merupakan pegawai perusahaan kereta api negara Staasspoorwegen dengan jabatan Adjunkt-ingenieur 1ste klasse (Assisten insinyur kelas I). Dalam proyek pembangunan jalur kereta api Priangan tersebut, Julius bekerja di bawah pimpinan J. W. IJzerman. (Regerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1883, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia, halaman 390).
Rudolph bercerita, langit di arah barat sempat dibakar oleh api Krakatau saat letusan terjadi. Keadaan ini disusul oleh ledakan hebat yang mengguncang Gambung dan sekitarnya.
“Tengah malam, aku dibangunkan oleh kegaduhan. Pintu, jendela, lemari, semuanya berguntak. kemudian terdengar suara dentuman dahsyat, seolah ada meriam yang ditembakkan persis di bawah jendel kami,” (R. E. Kerkhoven dalam buku Sang Juragan Teh, halaman 291-292).
Setelah melewati malam yang mencekam, awan hitam menyerbu daerah Bandung di sekitar pukul 10 pagi. Awan tersebut menutup langit sehingga keadaan menjadi gelap gulita saat itu. Tidak ada bau belerang, maupun abu yang jatuh dari langit. Menjelang sore, keadaan mulai kembali normal dan terang benderang.
Berita tentang apa yang terjadi saat itu mendorong Rudolph untuk berlangganan surat kabar. Melalui kurir, surat kabar tersebut dibawa dari Bandung menuju Gambung setiap hari. Dari koran-koran tersebut, Rudolph mengikuti perkembangan meletusnya Gunung Krakatau yang membuat gaduh di Gambung dan membuat langit hitam di atas Bandung, tahun 1883.
Gambar: Diedit oleh George James Symonds, dipublikasikan oleh The Royal Society (Great Britain).
Leave a Reply