“Hanya burung-burung yang bersiul, seperti di bulan Mei. Mungkin mengira matahari telah pergi ke bulan” [1].
Keheningan dan kegelapan menyelimuti Bandung saat Krakatau meletus. Gunung yang berada di Selat Sunda ini melepaskan energinya pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Selain suara letusan, awan hitam Krakatau pun sampai ke kota yang berjarak 257 km sebelah timur Gunung Krakatau.
Seperti yang ditulis dalam artikel sebelumnya, letusan dahsyat Gunung Krakatau terekam jelas dalam ingatan Rudolph Edward Kerkhoven (1848-1918). Dalam surat-suratnya, juragan the di Gambung ini menggambarkan suara letusan Krakatau seperti meriam yang ditembakkan di bawah jendela rumah mereka. Cerita Rudolph ini dituliskan dalam Novel “Sang Juragan Teh”, karya Hella Haasse.
Baca Juga: Letusan Krakatau di Bandung 1883 (Bag. 1)
“Di luar gelap gulita, udara gerah dan tak berangin. Suara letusan kembali terdengar, kadang kuat, kadang pelan. Pagi berikutnya, kami mendapati sekelompok penduduk pribumi telah mengungsi ke kediaman juru tulis. Beberapa orang mengira Gunung Tilu bakal rubuh, sementara yang lainnya menduga bahwa yang rubuh adalah kediaman kami atau pabrik. Semua orang siap untuk melarikan diri. Ibu-ibu menggendong anak-anak mereka dalam selendang, sementara para bapak memikul barang-barang milik mereka yang paling berharga. Tapi tak seorangpun tahu ke mana harus melarikan diri.[2]”
Rudolph kembali berceita bahwa awan hitam menyerbu daerah bandung sekitar pukul 10 pagi sehingga keadaan sangat gelap gulita. Keadaan kembali normal menjelang sore hari.
Keterangan Rudolph ini senada dengan apa yang diberitakan dalam koran De Locomotief. Dalam surat kabar bertarikh 29 Agustus 1883, orang yang sedang berada di Bandung merasa aneh karena Bandung tiba-tiba menjadi gelap gulita. Sejak jam 10 pagi sampai 14 siang, matahari tertutup awan hitam yang berasal dari barat dan utara. Keadaan yang menyerupai gerhana ini diselingi suara-suara dentuman dan desis yang secara samar terdengar dari arah barat.
Koran ini menuliskan, kejadian Bandung saat Krakatau direspon oleh penduduk untuk tinggal di rumahnya masing-masing. Saat itu, mereka mengaitkan fenomena alam yang terjadi saat itu, dengan cerita-cerita takhayul yang beredar di masyarakat.
Selain ditemani suara samar dentuman ledakan gunung dari kejauhan, Suasana sunyi dan sepi di dalam kota diselingi suara-suara burung yang biasanya muncul di Bulan Mei. Penulis artikel di koran Lokomotief menambahkan dengan kalimat: “Mungkin burung-burung mengira, kalau matahari telah pergi ke bulan”.
Gambar: Parker & Coward. 1888. Plate 1 in The eruption of Krakatoa, and subsequent phenomena. Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society. London: Trubner & Co.
Referensi:
[1] Uit Bandoeng. De locomotief. 29-08-1883
[2] Haasse, Hella. 2015. Sang Juragan Teh. Terjemahan. Jakarta: Gramedia. Hal. 292.
Leave a Reply