Masjid Al-Jabbar dan Sejarah Kawasan Gedebage

Masjid Al-Jabbar dan Sejarah Kawasan Gedebage

Masjid Al-Jabbar dan Sejarah Kawasan Gedebage

Pada hari Jumat, 30 Desember 2022, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meresmikan masjid Al-Jabbar. Masjid yang didaulat sebagai Masjid Raya Provinsi Jawa Barat ini berada di Jalan Cimincrang No. 14, kelurahan Cimencrang, kecamatan Gedebage, Kota Bandung. Masjid Al-Jabbar dilengkapi oleh 4 menara dan dikeliling oleh kolam retensi yang berfungsi sebagai pengendali banjir Bandung bagian timur.

Menurut sejarawan Prof. Nina Lubis, Gedebage mempunyai arti kebahagiaan yang besar[1]. Sebelum perlahan digerus oleh pembangunan, kawasan Gedebage didominasi oleh persawahan luas di antara beberapa perkampungan. Daerah perkampungan di sana memakai toponimi yang berhubungan dengan air, seperti Ranca Bayawak, Ranca Bolang, Cibogo, Cipamokolan, dll.

Di buku Kuncen Bandung Haryoto Kunto, terdapat sebuah peta Bandung tempo dulu dari F. De Haan. Di dalam peta tersebut, daerah Gedebage sekarang merupakan bagian dari rawa luas bernama Muras Geger Hanjuang. Muras ini membentang dari Jalan Raya Pos di utara, sampai Citarum di selatan[2].

Secara perlahan, rawa ini kemudian surut dan menyisakan dua rawa saja, yakni Rawa Luar dan Rawa Munjul. Di awal abad 20, rawa ini surut dan sebagian besar lahannya dijadikan persawahan. Meskipun rawa-rawa sudah surut, kawasan ini kerap diterjang banjir karena berada di dataran rendah Bandung. Asian Disaster Reduction Center mencatat, ada 15 sungai yang mengalir melewati kawasan tersebut[3].

Menjelang pergantian abad, Staatsspoorwegen berhasil menembus rawa dengan membangun rel kereta api yang menghubungkan Bandung dan Cicalengka, tahun 1884. Jalur ini merupakan bagian dari jalur barat Bogor-Cicalengka. Di tengah rawa, SS membangun stasiun bernama Gedebage, dekat dengan jalan yang menghubungkan Ujungberung dan Majalaya. Lima belas tahun kemudian, sebuah stasiun kecil didirikan SS di antara Stasiun Gedebage dan Rancaekek, dan diberi nama Ciendog (Ci berarti air, Endog berarti telur). Stasiun ini sekarang dikenal dengan nama Stasiun Cimekar dan letaknya tidak jauh dari Masjid Al-Jabbar. Saat tulisan ini dibuat, PT KAI sedang membangun pemberhentian baru di sebelah barat stasiun lama.

Riwayat Muras Geger Hanjuang yang menutupi sebagian lahan Bandung saat itu berakhir sekitar akhir abad 19. Hal ini didorong oleh kebijakan Bupati R. A. Wiranatakusumah IV untuk menaikkan hasil pertanian rakyat lewat pembukaan pesawahan di sekitar tahun 1864[4]. Pembukaan lahan ini membuat hampir semua lahan di Gedebage menjadi daerah persawahan.

Gedebage merupakan kawasan yang cukup terisolir. Keadaan sedikit demi sedikit berubah saat pemerintah membangun jalan Bypass Soekarno-Hatta di akhir tahun 1970-an. Jalan sepanjang 18,2 km ini menghubungkan Bundaran Cibeureum di Bandung bagian barat dan Bundaran Cibiru di bagian timur dan melewati Gedebage.

Pembangunan jalan ini membuat kawasan Gedebage mulai menggeliat karena lepas dari keterisolasiannya. Pembangunan di Gedebage mulai marak, seperti depot minyak milik Pertamina, pendirian Dry Port bagi petikemas yang tersambung dengan jalur kereta api, dan pembangunan Pasar Induk sebagai pusat ekonomi daerah sekitar.

Menurut Maman Hilman, perkembangan perumahan di Gedebage menunjukkan angka yang lebih tinggi setelah pemekaran Kota Bandung di tahun 2006[5]. Pemekaran ini mendorong munculnya pusat pemukiman-pemukiman baru di Gedebage, khususnya perumahan, seperti Bumi Panyileukan, dll.

Saat ini, pembangunan terus dilakukan di Gedebage. Setelah Stadion Gelora Bandung Lautan Api berdiri, pihak swasta pun membangun kompleks perumahan di tengah lahan bekas persawahan. Di Tegalluar yang secara administratif berada di Kabupaten Bandung, pemerintah sedang membangun Stasiun Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Dibangun di tengah kawasan yang memiliki riwayat panjang, Masjid Al-Jabbar dengan kolam retensinya merupakan sebuah simbol. Simbol yang mewakili cerita panjang perkembangan kawasan Gedebage dan Kota Bandung, sejak dulu, masa kini, dan masa yang akan datang.

Referensi:

[1] SM, Tiah. 2013. Tim Kajian Stadion Hanya Rekomendasikan Dua Nama. Tribunnews. Edisi 17 Januari 2013. https://jabar.tribunnews.com/2013/01/17/tim-kajian-stadion-hanya-rekomendasikan-dua-nama (Diakses 13 Januari 2023)

[2] Kunto, Haryoto. 1984. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia, hal. 152.

[3] ADRC Project Report. 2001. Community-Based Flood Mitigation Project; The Case of Bandung City, Indonesia. No. 1. 2001. Chapter II. Link: https://www.adrc.asia/publications/Cooperative_projects/Indonesia/report.pdf (Diakses 13 Januari 2023).

[4] Hardjasaputra, A. Sobana. 2002. Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906. Disertasi. Depok: Program Pascasarjana, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hal. 159-160.

[5] Hilman, Maman. 2004. Perkembangan Lokasi Perumahan di Wilayah gedebage Kota Bandung Akibat Pemekaran Kota. Jurnal: Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 32, No. 2, Desember 2004: 157 – 160. Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra.

Leave a Reply

Your email address will not be published.