Bulan Ramadhan merupakan bulan suci bagi umat Islam. Berbagai aktivitas dilakukan untuk menyambut kedatangan bulan mulia ini. Di Priangan, masyarakat menyambut setiap kedatangan bulan puasa dengan berbagai aktivitas. Tradisi ini dikenal dengan nama munggahan.
Kata Munggahan sendiri berasal dari bahasa Sunda “unggah” yang berarti naik. Menurut Kamus Umum Basa Sunda, kata unggah memunyai arti naik atau masuk ke tempat yang lebih tinggi. Kata ini misalnya dipakai dalam frasa “munggah haji”, ketika seseorang pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji.
Dalam konteks kedatangan Bulan Ramadhan, munggahan merupakan tradisi penyambutan yang dilakukan oleh masyarakat Sunda. Dalam kamus disebutkan, poe munggah berarti ngamimitian ibadah puasa atau memulai melaksanakan ibadah puasa[1].
Tradisi munggahan sangat dihargai dan dianggap sebagai bagian penting dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Melalui kegiatan ini, masyarakat Sunda dapat menunjukkan kesiapan dan kegembiraan atas datangnya bulan puasa, serta menunjukkan rasa kebersamaan dan solidaritas di antara sesama umat muslim.
Kesucian Ramadhan mendorong masyarakat untuk melakukan gerakan bersih-bersih. Selain membersihkan diri, mereka pun membersihkan lingkungan sekitar rumah. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa mereka ingin memulai ibadah puasa dengan bersih, baik lahir maupun batin.
Setiap sore sebelum memasuki Ramadhan, mereka melakukan ritual yang disebut dengan “kuramas” atau “keramas” dalam Bahasa Indonesia. Keramas merupakan simbol dari mandi besar dimana orang harus membasuh dan membersihkan semua bagian tubuh bagian luar, termasuk rambut dan kulit kepala. Kuramas menjadi lambang bahwa orang tersebut sudah bersih dan siap memasuki bulan suci.
Selain melakukan pembersihan individu, masyarakat biasanya melakukan bersih-bersih di luar rumah dan lingkungan sekitar. Dengan cara kerja bakti, masyarakat membersihkan selokan, mengecat rumah, memperbaiki jalanan, dll.
Kedatangan bulan suci dimanfaatkan pula untuk mengingat para leluhur, kerabat, dan keluarga yang sudah meninggal. Dalam buku Ramadhan di Priangan, Haryoto Kunto menulis, mereka menata dan membersihkan kuburan, bahkan sebulan sebelum memasuki Ramadhan. Tradisi ini diikuti oleh kegiatan ziarah kubur yang dikenal dengan istilah nadran. Dalam kamus bahasa Sunda, nadran berarti ziarah ke pekuburan dan menaburkan bunga di atasnya[2].
Kebiasaan lain yang selalu dilakukan oleh sebagian masyarakat Sunda adalah mengisi munggahan dengan acara makan bersama yang dikenal dengan sebutan botram. Kegiatan ini disebabkan karena mereka tidak boleh melakukan makan saat siang hari, selama sebulan. Selain itu, tujuan botram adalah sebagai ajang silaturahmi, baik antar anggota keluarga maupun antar anggota masyarakat di satu lingkungan.
Kegiatan botram sering diadakan di tempat wisata, alam terbuka, atau di properti pribadi seperti halaman rumah atau kebun. Kegiatan ini berlangsung meriah, diseling tawa canda penuh kegembiraan. Selain di alam terbuka, Urang Bandung sering membawa keluarganya untuk makan dan minum sepuasnya di rumah makan-rumah makan yang tersebar di dalam kota.
Haryoto Kunto bercerita tentang tradisi munggahan yang lain, yakni “ngabedaheun balong”. Dalam Bahasa Sunda “ngabedahkeun balong” mempunyai arti menguras kolam ikan. Kegiatan menguras kolam ini dilakukan oleh para juragan pemilik kolam ikan menjelang Ramadhan. Di Bandung, kolam-kolam ini tersebar di sekitar Buahbatu, Cigereleng, Ancol, Leuwipanjang, Tegallega, Pasikoja, dan Kopo.
Referensi:
Haryoto Kunto. 1995. Ramadhan di Priangan. Bandung: Penerbit Granesia.
[1] Panitia kamus Lembaga basa & Sastra Sunda. 1990. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Penerbit Tarate. Halaman 551.
[2] Panitia kamus Lembaga basa & Sastra Sunda. 1990. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Penerbit Tarate. Halaman 323.
Leave a Reply