Di tengah Kota Bandung terbentang sebuah jalan dengan nama cukup unik, Jalan Asia Afrika. Di jalan ini, banyak cerita yang berkaitan dengan sejarah pendirian dan perkembangan kota. Jalan tersebut merupakan potongan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan peninggalan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang dimulai tahun 1808 yang dibangun atas dorongan motif militer, ekonomi, komunikasi[1].
Di jalan ini, Daendels menancapkan tongkatnya seraya menginginkan sebuah kota terbangun setelahnya. Peristiwa ini seolah menjadi tonggak berdirinya sebuah kota bernama Bandung. Di jalan raya ini, Bupati membangun kompleks Pendopo dengan Alun-alunnya. Para pengusaha penginapan membangun penginapan yang kemudian berkembang menjadi hotel seperti Homann dan Preanger. Ada juga toko serba ada De Vries di depan mulut Jalan Braga atau gedung Bank Escompto di perempatan Banceuy.

Di masa lalu, jalan ini menjadi simbol rasial yang diterapkan pihak kolonial kepada pribumi. H. W. Ponder menulis, orang pribumi tidak bisa menikmati Jalan Raya Pos selama setengah abad lamanya. Mereka menggunakan jalan yang ada di pinggirnya supaya tidak mengotori dan merusak jalan. Baru di tahun 1857, jalan yang hanya boleh dipakai oleh orang Eropa itu dapat dipakai oleh pribumi[2].
Di cekungan Bandung, Jalan Raya pos melewati daerah Cihea, Rajamandala, Cipatat, Citatah, Padalarang, Cimahi, Kota Bandung, Cibiru, dan Cileunyi sebelum memasuki Kabupaten Sumedang. Di dalam Kota Bandung, jalan ini membentang dari Cimindi, melewati Jalan Jenderal Sudirman, Asia Afrika, Ahmad Yani, Jalan Raya Ujung Berung sampai Cibiru.
Jalan Raya Pos yang berada di sebelah barat perempatan Otista diberi nama Jalan Raya Barat. Saat ini, tanda keberadaan nama jalan tersebut dijadikan nama sebuah Sekolah Dasar di daerah Situ Aksan. Sedangkan jalan yang ada di sebelah timur perempatan Otista diberi nama Jalan Raya Timur. Penamaan jalan ini bisa kita saksikan di bagian toko sepeda di pertigaan Jalan Veteran.

Perubahan nama jalan antara Simpang Lima dan perempatan Jalan Oto Iskandardinata ini berkaitan erat dengan Konferensi Asia Afrika yang dipusatkan di Bandung. Konferensi yang dihadiri oleh 29 negara ini berlangsung dari tanggal 18-24 April 1955.
Di awal Bulan April 1955, Presiden Sukarno melakukan inspeksi untuk melihat persiapan penyelenggaraan hajat besar bagi bangsa Indonesia dan dunia ituKetika itu, Sukarno ingin supaya nama jalan di depan gedung Societeit Concordia diganti menjadi Jalan Asia Afrika[3]. Selain itu, nama gedung Societeit Concordia sekaligus gedung pertunjukannya diganti juga dengan nama Gedung Merdeka. Kedua tempat ini menjadi lokasi acara inti Konferensi Asia Afrika saat itu.

Keinginan Sukarno untuk mengganti nama jalan ini disambut baik oleh para anggota Dewan Kota Bandung. Mereka langsung melakukan rapat darurat untuk membahas masalah pergantian nama ini. Rapat itu dilangsungkan di Balai Kota di bawah pimpinan E.Z. Muttaqien.
Dalam pembukaan rapat, ketua dewan menyatakan dukungannya terhadap perhelatan KAA dari dalam lubuk hati. Secara aklamasi, mereka menyetujui pergantian nama jalan yang diusulkan Sukarno. Dalam artikel berjudul “Djalan Asia-Afrika di Bandung” di koran Java Bode edisi 16 April 1955[4], nama Jalan Raya Timur dari perempatan Jalan Oto Iskandardinata sampai simpang lima diganti menjadi Jalan Asia Afrika. Begitupun dengan nama gedung Societeit Concordia dan gedung pertunjukannya menjadi Gedung Merdeka, dan Gedung Pensioenfodsen menjadi Gedung Dwi Warna. Selain ketiga nama itu, dewan juga menyetujui perubahan nama Jalan Alun-alun Barat menjadi Jalan Mesjid Agung.
Sumber gambar utama: Asian-African Conference Museum
Referensi:
[1] Sobana Hardjasaputra. 2002. Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906. Disertasi, Depok: FIB UI. Hal: 29.
[2] H. W. Ponder. Javanese Panorama. London: Seeley, Serviva & Co. Ltd.
[3] Bandung maakt zich op voor ontvangst delegaties. Java-bode. 09-04-1955
[4] Djalan Asia-Afrika in Bandoeng. Java Bode. 16 April 1955
Leave a Reply