Rumah Sate, Asal Usul Julukan Gedung Sate - Sejarah Bandung

Rumah Sate, Asal Usul Julukan Gedung Sate

Rumah Sate, Asal Usul Julukan Gedung Sate

“Mungkin ada yang ingin tahu, mengapa bangunan induk tadi disebut Gedong Sate. Sebab di puncak bumbungan atapnya terdapat tihang penangkal petir yang menusuk 6 bulatan bola, sehingga menyerupai sebatang sate.[1]

Berkaitan dengan pencalonan Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda, Gedung Sate dibangun antara tahun 1920-1924. Pada mulanya, pemerintah akan membangun pusat instansi pemerintah Hindia Belanda atau kita kenal dengan istilah Gouvernements-Bedrijven. Dari rencana besar tersebut, hanya dua bangunan saja yang berhasil dibangun, yakni gedung untuk kantor pusat pos, telegraf, dan telepon dan gedung untuk departemen pekerjaan umum dan pengairan, yang kita kenal sekarang dengan nama Gedung Sate.

Dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya, Haryoto Kunto menjelaskan mengapa bangunan yang sekarang menjadi kantor Gubernur Jawa Barat itu diberi nama Gedung Sate. Penulis dengan julukan Kuncen Bandung ini melanjutkan, bahwa potongan “daging sate” yang berjumlah 6 potong itu melambang total biaya yang dikeluarkan untuk membuat Gedung Sate.

Menurut Sudarsono Katam, ornamen bulatan “daging sate” yang menempel di tiang penangkal petir tersebut merupakan simbolisasi dari bunga teratai[2]

Baca Juga: Harta Karun di Gedung Sate

Gedung Sate Bandung, tanpa tahun, sumber: KITLV.

Juli 1924, koran Preangerbode menyebut Gedung Sate dengan nama Rumah Sate[3]. Penyebutan ini muncul dalam konteks cerita tentang Direktur Gouvernements-Bedrijven, P.A. Roelofsen yang betah untuk berkantor di Kebon Karet, tempat yang dipakai sebagai kantor pusat PT. KAI sekarang. Karena merasa cocok dengan suasana di sana, Roelofsen enggan untuk pindah ke gedung baru.

Dalam kurun waktu 4 tahun, pembangunan gedung ini berhasil dituntaskan. Akan tetapi, sang direktur masih keukeuh untuk berkantor di Kebon Karet. Sementara, unit-unit Staatspoorwegen (SS) mulai berdatangan untuk berkantor di Bandung. Keadaan ini cukup membuat pusing, W.F. Staargaard. Direktur perusahaan kereta api negara ini merasa kagok meminta Roelofsen untuk pindah.

Tidak habis akal, Staargaard mendapat kesempatan untuk menyampaikan unek-uneknya dalam pidatonya di satu acara makan malam. Staargaard meminta bantuan satu komisi untuk menyelesaikan masalahnya, termasuk “mengusir” Roelofsen dari Kebon Karet. Pada akhirnya, Roelofsen menerima untuk pindah dan akan membantu Staargaard mendapatkan kantor idealnya di Kebon Karet.

Baca Juga: Monumen Lampu di Stasiun Bandung, Sebuah Hadiah Untuk SS

Penggunaan kata “Rumah Sate’ juga digunakan oleh koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie di tahun 1925. Koran ini menyebut bangunan yang baru ini dipakai sebagai tempat percobaan komunikasi nir kabel antara Bandung dan Stasiun Nauen di Jerman[4].

Koran tersebut menulis, suara musik jazz dari gramofon terus menerus dari arah Gedung Sate. Suara musik dari tempat terpencil waktu malam hari ini sempat membuat suasana menyeramkan. Mereka pun mengkonfirmasi hal tersebut dan mendapat jawaban tentang percobaan radio di Rumah Sate, keesokan harinya.

Sejak penemuan gelombang pendek yang bisa mengirimkan suara antara benua, pemerintah Hindia Belanda mencoba untuk melakukan upgrade teknologi komunikasi nir kabel yang berpusat di Radio Malabar. Mereka mendirikan stasiun percobaan baru di Gedung Sate dan di Cimindi, dan menginstall peralatan baru salah satunya di Rancaekek. Baru di tahun 1927, Hindia Belanda berhasil melakukan percakapan pertama via telepon dengan Belanda.

Baca Juga: Stasiun Rancaekek dan Percakapan Pertama Dengan Belanda

Stasiun Radio Cimindi, tanpa tahun, sumber: Wereldculturen.nl

Menurut Nieuwe Amsterdamsche Courant Algemeen Handelsblad edisi bulan Juli 1927, juluan Rumah Sate diberikan orang-orang pribumi berdasarkan penglihatan visual mereka terhadap Gedung Sate. Mereka melihat pengangkal petir dengan ornamen bunga teratai itu terlihat sebagai tusukan sate.

Setelah itu, julukan “Gedong Sate” mulai muncul sebagai nama baru. Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie mencantumkan julukan ini di salah satu berita mereka tahun 1929. Dalam Bahasa Sunda penggunaan kata gedong untuk julukan Gedung Sate cukup tepat dibanding kata rumah. Kata gedong mempunyai arti Imah alus, biasana imah tembok (rumah bagus, rumah memakai tembok)[5]. Julukan ini diserap ke Bahasa Indonesia menjadi Gedung Sate, julukan yang bertahan sampai sekarang.

Satu julukan yang sekarang kurang populer bagi Gedung Sate adalah “Gedung Hebe”. Nama “Hebe” diambil dari pelafalan orang Belanda saat mengucap kata “GB”, yang merupakan singkatan dari Gouvernements-Bedrijven. Panggilan Hebe bagi Gedung Sate sekitar tahun 1950-an, sempat dikenang oleh Us Tiarsa dalam buku Basa Bandung Halimunan[6].

Sampai sekarang, gedung yang menjadi ikon Kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat ini lekat dengan julukan “Gedung Sate”.

 

Referensi:

[1] Haryoto Kunto. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT Granesia. Halaman 937.

[2] Sudarsono Katam. 2009. Gedung Sate Bandung. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama. Halaman 21.

[3] Van den Dag. De Preanger-bode. Edisi 16 Juli 1924.

[4] Geluiden van den Nacht. Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie. Edisi 27 Oktober 1925

[5] Lembaga Basa & Sastra Sunda. 1990. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Penerbit Tarate. Halaman 141.

[6] Us Tiarsa. 2011. Basa Bandung Halimunan, Bandung taun 1950-1960-an. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. Halaman 144.

Leave a Reply

Your email address will not be published.